Net Protozo – Wanita paruh baya yang berusia antara 45 hingga 60 tahun sering kali menjadi kelompok yang kurang mendapat perhatian dalam kampanye kesehatan reproduksi. Padahal, fase kehidupan ini membawa berbagai tantangan penting yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan kesejahteraan secara menyeluruh. Masa transisi menuju menopause, peningkatan risiko penyakit reproduksi, serta kebutuhan layanan kesehatan yang sensitif terhadap usia dan gender menjadi isu yang harus diperhatikan lebih serius dalam masa menopause.
Direktur Kebijakan Strategi Bidang Peningkatan Sumber Daya dan Kemandirian Keluarga Berencana Kemendukbangga/BKKBN, Dr. Indra Murty Surbakti, menegaskan pentingnya perhatian khusus terhadap kesehatan reproduksi wanita paruh baya. Ia menyampaikan bahwa penguatan isu ini juga menjadi bagian dari Visi Indonesia Emas 2045 melalui kebijakan kependudukan dan pembangunan keluarga. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menciptakan penduduk yang berkualitas, sehat, dan berdaya saing di tingkat global, sesuai dengan cita-cita Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045.
Isu kesehatan reproduksi wanita paruh baya juga termasuk dalam prioritas nasional yang disebut Asta Cita. Prioritas ini menekankan pentingnya pembangunan sumber daya manusia, pendidikan, teknologi, kesehatan, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan dan kelompok rentan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan reproduksi wanita paruh baya harus dilihat sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang lebih luas.
Wanita dalam rentang usia tersebut mengalami berbagai perubahan biologis, psikologis, dan sosial yang signifikan. Transisi menopause adalah fase utama yang menyebabkan penurunan kadar hormon estrogen. Perubahan hormonal ini berdampak pada berbagai aspek kesehatan reproduksi, termasuk gangguan menstruasi, disfungsi seksual, hingga risiko meningkatnya penyakit tidak menular seperti osteoporosis dan penyakit jantung. Selain perubahan fisik, wanita paruh baya juga sering menghadapi tekanan psikologis dan sosial yang tidak kalah berat.
Baca Juga : Sesak Napas Tanpa Penyebab Medis Tanda Psikosomatis
Di Indonesia, jumlah wanita paruh baya terus meningkat seiring dengan bertambahnya angka harapan hidup. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2022. Perempuan berusia 45 hingga 60 tahun mencapai lebih dari 22 juta jiwa atau sekitar 8 persen dari total penduduk. Sayangnya, perhatian pada kelompok ini dalam program kesehatan masih sangat terbatas. Fokus program kesehatan reproduksi selama ini lebih banyak ditujukan kepada remaja dan ibu hamil. Sehingga kebutuhan khusus wanita paruh baya kurang terlayani.
Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen wanita berusia di atas 45 tahun mengalami berbagai gejala fisik dan psikis akibat perubahan hormon. Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang mengakses layanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, stigma sosial yang melekat dan rendahnya literasi kesehatan membuat banyak wanita enggan membicarakan kondisi kesehatan reproduksi mereka secara terbuka. Hal ini semakin memperparah ketidakmampuan mereka dalam mendapatkan pelayanan yang memadai.
Hak kesehatan seksual dan reproduksi wanita paruh baya kerap terabaikan karena adanya stereotip negatif mengenai kondisi kesehatan seksual dan reproduksi di masa menopause. Stereotip ini menyebabkan banyak wanita merasa malu atau enggan mengungkapkan masalah yang mereka hadapi. Padahal, informasi dan layanan yang tepat sangat dibutuhkan agar mereka dapat menjalani masa paruh baya dengan sehat dan berkualitas.
Dari sisi data, survei kesehatan nasional yang ada saat ini hanya mencakup perempuan usia 15 hingga 49 tahun. Hal ini menyebabkan kurangnya data yang mewakili kondisi kesehatan reproduksi wanita di atas usia tersebut. Ketidakterwakilan ini menghambat perencanaan program kesehatan yang lebih efektif untuk kelompok paruh baya.
Kesehatan reproduksi wanita paruh baya juga dipengaruhi oleh pengalaman dan perilaku kesehatan seksual di masa lalu. Faktor seperti usia saat melahirkan anak pertama dan jumlah kelahiran dapat berdampak pada kondisi kesehatan jangka panjang dan kemampuan fungsional di usia lanjut. Oleh karena itu, perhatian pada aspek ini harus menjadi bagian dari layanan kesehatan yang holistik.
Masa paruh baya adalah fase krusial yang ditandai dengan penurunan fungsi ovarium dan hormon estrogen. Selain perubahan biologis, wanita di fase ini sering menghadapi beban ganda. Yaitu merawat anak yang masih bergantung serta orang tua yang menua. Tekanan psikologis juga kerap muncul, termasuk perasaan sedih atau hampa yang dikenal sebagai empty nest syndrome ketika anak mulai meninggalkan rumah.
Meski penuh tantangan, masa paruh baya juga menawarkan peluang. Banyak wanita berada di puncak karier dan memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup serta memaksimalkan kesehatan dan fungsi tubuh. Untuk itu, dukungan yang komprehensif terhadap kesehatan reproduksi. Serta kesehatan mental wanita paruh baya sangat diperlukan agar mereka dapat melewati fase ini dengan optimal.
Indra menegaskan pentingnya pendekatan yang holistik dan sensitif terhadap kebutuhan kesehatan wanita paruh baya. Dengan demikian, mereka dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik dan tetap produktif dalam berbagai peran sosial dan keluarga. Pengakuan dan pemenuhan hak kesehatan reproduksi kelompok ini adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan inklusif.
Simak Juga : Rompi Hijab Terbaik untuk Cuaca Dingin Yang Hangat dan Syar’i