Net Protozo – Sindrom nefrotik atau kebocoran protein dalam urin, yang kerap dikenal dengan istilah “bocor ginjal”, merupakan gangguan yang bisa dialami oleh anak-anak. Meskipun kasusnya tidak terlalu banyak, yaitu sekitar 1 hingga 17 kasus per 100 ribu anak, tetap perlu diwaspadai, terutama jika muncul gejala seperti kelopak mata bengkak secara berulang. Hal ini disampaikan oleh dr. Ahmedz Widiasta, seorang dokter spesialis anak subspesialis nefrologi yang tergabung dalam Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Gejala sindrom nefrotik bisa terlihat jelas pada sebagian anak, namun ada juga yang tidak menunjukkan tanda sama sekali. Salah satu gejala yang paling umum dan sering luput dari perhatian adalah pembengkakan di area kelopak mata yang biasanya terlihat pada pagi hari setelah bangun tidur. Meski tampak normal di siang hari, bengkak ini bisa muncul kembali keesokan harinya, bahkan bisa diikuti dengan pembesaran perut.
Selain itu, anak yang mengalami sindrom nefrotik biasanya juga akan buang air kecil lebih sedikit dari biasanya. Tanda lainnya adalah urin yang tampak berbusa. Kedua gejala tersebut dianggap sebagai tanda klasik dari sindrom nefrotik. Meski begitu, tidak semua anak akan menunjukkan gejala ini secara langsung. Ada kasus di mana anak terlihat sehat padahal ginjalnya sudah mengalami kebocoran protein.
Baca Juga : Rambut Rontok Akibat Pola Hidup Buruk Sehari-hari yang Merusak
Untuk menggambarkan hal tersebut, dr. Ahmedz mengisahkan hasil skrining yang pernah dilakukan pada siswa SMA di Jawa Barat. Dari sekitar 1.200 siswa yang menjalani pemeriksaan urin, ditemukan sekitar 60 siswa yang memiliki kandungan protein dalam urinnya. Temuan ini membuktikan bahwa kebocoran ginjal dapat terjadi meski tidak terlihat secara fisik.
Karena itu, skrining urin menjadi langkah penting dalam mendeteksi gangguan ginjal sejak dini. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setahun sekali, terutama karena sulit untuk mencegah sindrom nefrotik sepenuhnya. Melalui pemeriksaan rutin, kondisi ini bisa dikenali lebih awal dan memungkinkan penanganan yang lebih cepat dan efektif.
Menurut dr. Ahmedz, sindrom nefrotik pada anak bisa disembuhkan jika dikenali dan diobati sejak dini. Pengobatan utamanya adalah menggunakan obat steroid, yang umumnya memberikan respons positif pada sebagian besar pasien. Namun, sekitar 20 persen pasien menunjukkan resistensi terhadap obat ini. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk tidak memberikan pengobatan sembarangan atau menghentikan pengobatan tanpa pengawasan medis.
Kesalahan dalam mendampingi pengobatan dapat menyebabkan kondisi anak menjadi lebih serius. Misalnya, jika orang tua hanya memberikan obat saat anak tampak bengkak lalu menghentikannya saat gejala hilang, hal ini bisa menimbulkan resistensi terhadap obat steroid dan membuat pengobatan lebih sulit di masa depan.
Sindrom nefrotik yang tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, sindrom ini bisa menyebabkan gangguan ginjal akut, syok ginjal yang membuat darah tidak mengalir ke seluruh tubuh, serta gangguan pernapasan. Gangguan pernapasan biasanya disebabkan oleh pembesaran perut yang menekan paru-paru, atau adanya cairan di rongga pleura yang menghambat fungsi paru-paru secara normal.
Jika dibiarkan terus menerus, kondisi ini dapat berkembang menjadi penyakit ginjal kronik bahkan sampai tahap akhir. Pada tahap ini, pasien membutuhkan cuci darah seumur hidup untuk menggantikan fungsi ginjal yang sudah tidak mampu bekerja.
Secara medis, sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala akibat kerusakan pada sistem penyaringan ginjal. Bagian ginjal yang bernama glomerulus bertugas menyaring darah sebelum dikembalikan ke seluruh tubuh. Jika glomerulus rusak, protein dalam darah akan ikut terbuang melalui urin. Akibatnya, tekanan dalam pembuluh darah menurun dan cairan dari pembuluh darah dapat merembes keluar, menyebabkan pembengkakan di berbagai bagian tubuh.
Hingga saat ini, penyebab utama sindrom nefrotik belum sepenuhnya diketahui. Sebagian besar kasus bersifat idiopatik atau tanpa penyebab yang jelas. Hanya sekitar 20 persen yang disebabkan oleh faktor genetik. Oleh karena itu, meningkatkan kesadaran akan gejala awal dan pentingnya skrining rutin menjadi kunci utama dalam mencegah komplikasi dari sindrom ini.
Simak Juga : Nyeri Dada Saat Naik Tangga? Bisa Jadi Tanda Penyakit Jantung