Net Protozo – Beberapa negara di Asia, termasuk Singapura dan Hong Kong, mengalami peningkatan kasus COVID-19 secara signifikan. Kementerian Kesehatan Singapura mengungkapkan bahwa varian LF.7 dan NB.1.8, yang merupakan turunan dari varian JN.1, saat ini mendominasi kasus COVID-19 di negara tersebut. Kedua varian ini dilaporkan mencakup lebih dari dua pertiga dari keseluruhan kasus yang telah diurutkan secara genetik.
Data resmi menunjukkan bahwa pada periode 27 April hingga 3 Mei 2025, Singapura mencatat 14.200 kasus COVID-19, naik dari 11.100 kasus di minggu sebelumnya. Sementara itu, Hong Kong juga melaporkan lonjakan kasus yang signifikan, termasuk 81 kasus parah dan 30 kematian. Mayoritas korban jiwa merupakan lansia yang memiliki penyakit penyerta atau komorbiditas. Pusat Perlindungan Kesehatan Hong Kong menyebutkan bahwa aktivitas penyebaran virus mulai meningkat sejak pertengahan April 2025.
Varian JN.1 sendiri pertama kali terdeteksi di Amerika Serikat pada Agustus 2023. Subvarian ini berasal dari garis keturunan Omicron dan memiliki hubungan dekat dengan BA.2.86 atau yang dikenal secara informal sebagai Pirola. Pada Desember 2023, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan JN.1 sebagai Variant of Interest atau VOI. Penetapan ini dilakukan jika suatu varian mengalami mutasi yang memicu perubahan signifikan, menyebar secara luas, dan menunjukkan potensi risiko kesehatan masyarakat.
Baca Juga : Cegah Obesitas Pada Anak dengan Camilan Sehat Setelah Makan
Seiring waktu, JN.1 mengalami mutasi tambahan yang diduga mempercepat penyebarannya. Pada April 2024, varian ini telah menyebar ke lebih dari 120 negara dan menyebabkan sekitar 94 persen dari seluruh kasus COVID-19 global. Di Indonesia sendiri, Kementerian Kesehatan melaporkan keberadaan 41 kasus JN.1 pada Desember 2023.
Meski tingkat penularannya tinggi, WHO menilai bahwa JN.1 tidak menimbulkan risiko kesehatan yang lebih besar dibandingkan varian sebelumnya. Hal ini ditegaskan oleh dokter Sandeep Budhiraja dari India yang menyatakan bahwa JN.1 tidak lebih ganas, namun memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi, yang menyebabkan kekhawatiran di berbagai negara Asia.
Gejala yang ditimbulkan oleh varian JN.1 secara umum mirip dengan varian COVID-19 sebelumnya. Gejala umum meliputi batuk kering, demam, sakit tenggorokan, kelelahan, serta kehilangan kemampuan penciuman atau perasa. Beberapa laporan, termasuk dari Johns Hopkins, menyebutkan bahwa varian ini juga dapat memicu gejala gangguan pencernaan seperti diare, meski tidak terjadi pada semua kasus.
Dalam menghadapi lonjakan kasus, para ahli menyarankan masyarakat untuk tetap waspada. Epidemiolog Dicky Budiman mengimbau agar kelompok rentan seperti lansia dengan penyakit penyerta segera mendapatkan vaksinasi booster. Menurutnya, booster tidak harus diberikan setiap tahun, melainkan cukup dua tahun sekali untuk memperkuat perlindungan terhadap virus.
Selain vaksinasi, masyarakat diimbau untuk menerapkan kembali protokol kesehatan dengan disiplin. Penggunaan masker sangat dianjurkan, terutama saat berada di tempat tertutup atau di tengah kerumunan. Mencuci tangan dengan sabun di bawah air mengalir juga tetap menjadi kebiasaan penting dalam mencegah penularan virus.
Dicky mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia tidak perlu panik berlebihan menghadapi situasi ini. Yang terpenting adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya hidup sehat dan menjaga daya tahan tubuh. Konsumsi makanan bergizi seimbang, istirahat cukup, dan kebiasaan bersih harus terus dipertahankan.
Peningkatan kasus di Asia menjadi pengingat bahwa pandemi belum sepenuhnya usai. Oleh karena itu, kewaspadaan kolektif dan langkah pencegahan tetap menjadi kunci utama untuk menekan laju penyebaran COVID-19 varian JN.1.
Simak Juga : Tips Efektif Mengubah Kebiasaan Begadang