Net Protozo – Halusinasi merupakan kondisi gangguan persepsi yang tidak bisa dianggap sepele. Menurut dr. Astuti, seorang dokter di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Daerah Atma Husada Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, penting bagi masyarakat untuk memahami apa itu halusinasi, termasuk pemicu dan jenis-jenisnya. Hal ini menjadi langkah awal untuk memberikan penanganan yang tepat bagi penderita. Waspadai halusinasi.
Dalam penjelasannya, dr. Astuti menyampaikan bahwa banyak orang kerap menyamakan halusinasi dengan khayalan biasa. Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Halusinasi bukan sekadar imajinasi, tetapi sebuah gangguan persepsi sensorik yang dirasakan nyata oleh individu, meskipun tidak ada rangsangan dari luar. Artinya, seseorang yang mengalami halusinasi akan benar-benar mendengar, melihat, atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada di dunia nyata.
Lebih lanjut, halusinasi dikategorikan sebagai bagian dari gangguan jiwa, yaitu kondisi kompleks yang dapat memengaruhi cara berpikir, perasaan, hingga perilaku seseorang. Gangguan ini bisa mengubah cara seseorang merespons dunia sekitarnya, dan sering kali membuat penderitanya merasa bingung, takut, bahkan terancam oleh persepsinya sendiri.
Baca Juga : Kesehatan Otak: Cara Sederhana Menjaga Agar Tetap Sehat
Terdapat berbagai bentuk halusinasi, tergantung pada indra yang terpengaruh. Halusinasi auditorik merupakan jenis yang paling umum, ditandai dengan munculnya suara-suara atau bunyi yang tidak berasal dari sumber nyata. Ini sering ditemukan pada penderita skizofrenia. Kemudian, ada halusinasi visual, di mana individu melihat objek, bayangan, atau cahaya yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi jenis ini bisa sangat membingungkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari.
Selain itu, halusinasi juga dapat terjadi pada indera penciuman atau disebut halusinasi olfaktorik. Penderita akan mencium bau-bauan yang tidak ada sumbernya, seperti bau busuk atau aroma menyengat. Halusinasi taktil merupakan sensasi seolah-olah ada sesuatu menyentuh kulit, meskipun sebenarnya tidak ada kontak fisik. Terakhir, halusinasi gustatorik terjadi saat seseorang merasakan sesuatu di mulutnya, seperti rasa logam atau pahit, tanpa ada makanan atau minuman yang dikonsumsi.
Dr. Astuti juga mengungkapkan beberapa faktor pemicu yang dapat menyebabkan halusinasi muncul. Salah satu penyebab utama adalah gangguan jiwa, seperti skizofrenia, gangguan bipolar, dan depresi berat. Pada kondisi ini, halusinasi sering kali menjadi gejala utama yang membedakan dari gangguan psikologis lainnya.
Faktor lain yang turut memicu adalah penyalahgunaan zat psikoaktif, seperti narkoba dan alkohol. Zat-zat tersebut memiliki efek langsung terhadap sistem saraf pusat, sehingga dapat menimbulkan persepsi yang menyimpang dari kenyataan. Selain itu, beberapa kondisi medis seperti demensia, epilepsi, dan tumor otak juga diketahui dapat menyebabkan gejala halusinasi. Bahkan, beberapa jenis obat tertentu yang dikonsumsi dalam jangka panjang atau dosis tinggi juga bisa menimbulkan efek samping berupa halusinasi.
Tak hanya dari sisi medis dan zat kimia, halusinasi juga bisa dipicu oleh faktor fisik dan psikologis. Misalnya, kurang tidur dalam waktu lama, kelelahan fisik berlebihan, stres berat, hingga trauma mendalam. Kondisi-kondisi tersebut dapat memicu otak bekerja secara tidak normal dan akhirnya menimbulkan persepsi yang salah.
Dr. Astuti menegaskan pentingnya membedakan antara angan-angan biasa dan halusinasi. Setiap orang pasti pernah berangan-angan atau membayangkan sesuatu, dan hal tersebut merupakan bagian dari fungsi kognitif normal. Namun, jika seseorang mengalami halusinasi yang intens dan mengganggu aktivitas serta hubungan sosial, maka kondisi itu memerlukan evaluasi medis segera.
Penanganan terhadap halusinasi tidak boleh ditunda. Pemeriksaan oleh tenaga kesehatan profesional diperlukan untuk mengetahui penyebab pasti dan menentukan terapi yang sesuai. Dalam beberapa kasus, pengobatan dengan obat antipsikotik, terapi perilaku, atau konseling psikologis bisa membantu mengurangi gejala.
Halusinasi adalah gangguan serius yang membutuhkan perhatian, bukan penghakiman. Dengan pemahaman dan dukungan yang tepat dari lingkungan sekitar, penderita dapat memperoleh perawatan yang sesuai dan kualitas hidup yang lebih baik.
Simak Juga : Warga Lumajang Diminta Waspada Leptospirosis, Ini Gejalanya!