Net Protozo – Indonesia kini menempati peringkat keempat dunia dalam jumlah kasus kanker ovarium, setelah China, India, dan Amerika Serikat. Data dari World Research Cancer Fund (WRCF) mencatat ada sekitar 15.130 kasus baru setiap tahunnya di Indonesia.
Tingginya jumlah kasus ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang kanker ovarium. Kurangnya edukasi tentang faktor risiko menjadi salah satu penyebab utama. Menurut dr. Muhammad Yusuf, SpOG (K) Onk, penting bagi seluruh pihak untuk bersama-sama meningkatkan pemahaman akan penyakit ini, terutama bagi perempuan. Ia menekankan perlunya edukasi berkelanjutan guna mendorong deteksi dini dan peningkatan kualitas penanganan.
Laporan Global Cancer Observatory (GLOBOCAN) 2022 menyebutkan bahwa kanker ovarium menjadi kanker ketiga terbanyak pada perempuan di Indonesia. Jenis kanker yang paling umum adalah kanker ovarium epitelial, yang berkembang di lapisan luar ovarium.
Baca Juga : Manfaat Kunyit untuk Meredakan Maag dan Nyeri Haid
Beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan terkena kanker ovarium antara lain riwayat keluarga dengan kanker serupa, siklus menstruasi yang dimulai terlalu dini, tidak pernah hamil, serta menopause yang terjadi di usia lebih tua dari rata-rata. Selain itu, faktor genetik seperti mutasi gen BRCA1/BRCA2, kelainan perbaikan DNA seperti HRD, obesitas, dan usia yang bertambah juga ikut berkontribusi.
Gaya hidup sehat berperan penting dalam menurunkan risiko terkena kanker ovarium. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah menjaga berat badan ideal, menerapkan pola makan sehat, tidak merokok, serta menghindari terapi hormon. Penggunaan kontrasepsi oral juga dapat membantu mengurangi risiko. Meskipun belum ada metode skrining yang benar-benar akurat, pemeriksaan seperti USG transvaginal dan tes darah CA-125 bisa menjadi opsi pendukung untuk deteksi dini.
Sayangnya, sebagian besar kasus kanker ovarium di Indonesia baru terdeteksi pada stadium lanjut. Hal ini karena gejala awalnya sering tidak spesifik dan cenderung diabaikan. Gejala seperti perut kembung, nyeri panggul, atau gangguan pencernaan sering dianggap sebagai masalah ringan.
Menurut dr. Yusuf, kanker ovarium menjadi penyebab kematian tertinggi di antara semua jenis kanker ginekologi. Umumnya, pasien baru terdiagnosis pada stadium 3 atau 4, sehingga penanganan medis sudah memerlukan operasi besar dan kemoterapi. Risiko kekambuhan setelah kemoterapi juga tinggi, mencapai 70 persen dalam tiga tahun pertama.
Pada stadium lanjut, tindakan medis yang dilakukan biasanya berupa operasi pengangkatan ovarium, tuba falopi, rahim, dan jaringan kanker lainnya. Setelah itu, pasien perlu menjalani kemoterapi tambahan. Meski telah menyelesaikan tahap awal pengobatan dan masuk fase remisi, risiko kekambuhan tetap tinggi, bahkan dengan masa remisi yang lebih singkat dan peningkatan angka kematian.
Dalam beberapa kondisi, pasien bisa mendapatkan terapi target setelah kemoterapi. Hal ini tergantung pada hasil tes molekuler seperti status gen BRCA atau HRD. Pasien dengan HRD-positif berpotensi menjalani terapi pemeliharaan berbasis PARP inhibitor seperti Olaparib. Terapi ini memanfaatkan kelemahan genetik pada sel kanker untuk menghentikan pertumbuhannya, sehingga bisa mengurangi risiko kekambuhan dan memperpanjang harapan hidup.
Dr. Feddy, Medical Director AstraZeneca Indonesia, menegaskan pentingnya perawatan yang terpersonalisasi pascaoperasi dan kemoterapi. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan peluang hidup lebih baik bagi pasien. Penanganan kanker ovarium, terutama pada stadium lanjut, memerlukan kerja sama antara tenaga medis dan penyedia layanan terapi.
Setiap pasien berhak mendapatkan akses terhadap pengobatan terbaik agar bisa hidup lebih lama dengan kualitas hidup yang baik. Menurut Esra Erkomay, President Director AstraZeneca Indonesia, inovasi dalam pengobatan harus diiringi dengan peningkatan kesadaran dan perluasan akses bagi pasien. Edukasi tentang pentingnya deteksi dini dan pengobatan yang tepat merupakan langkah awal membangun sistem kesehatan yang lebih responsif terhadap kebutuhan pasien kanker ovarium di Indonesia.
Simak Juga : Sialadenosis: Ketika Malnutrisi Menyerang Kelenjar Ludah