Net Protozo – Warga sipil yang hidup bertahun-tahun di wilayah perang menghadapi tekanan berat pada kesehatan mental negara konflik hingga memengaruhi cara mereka berfungsi setiap hari.
Hidup di bawah ancaman serangan, penembakan, atau pengungsian paksa membuat banyak orang berada dalam mode waspada terus-menerus. Kondisi ini menggerus kesehatan mental negara konflik karena tubuh dan pikiran jarang mendapat kesempatan tenang. Sulit tidur, mudah kaget, dan rasa takut berkepanjangan menjadi bagian dari rutinitas.
Selain itu, akses terhadap layanan dasar seperti air bersih, listrik, dan pendidikan sering terputus. Sementara itu, ketidakpastian ekonomi membuat keluarga kesulitan merencanakan masa depan. Kombinasi faktor ini memperparah kerentanan psikologis dan melemahkan daya tahan emosi masyarakat.
Dampak konflik tidak hanya terlihat dari bangunan hancur atau korban fisik. Di balik itu, kesehatan mental negara konflik menyimpan luka tak kasat mata yang sering terabaikan. Banyak orang mengalami trauma berulang dari kehilangan orang tercinta, menyaksikan kekerasan, atau harus mengungsi berulang kali.
Akibatnya, depresi, kecemasan berat, dan gangguan stres pascatrauma menjadi lebih umum. Namun, banyak kasus tidak pernah terdiagnosis karena minimnya tenaga profesional, stigma, dan prioritas yang lebih terfokus pada kebutuhan fisik. Meski begitu, beban psikologis ini berpotensi memengaruhi generasi berikutnya.
Masyarakat di wilayah konflik sering menunjukkan gejala yang tampak “biasa” tetapi sesungguhnya menandakan tekanan berat. Banyak orang menormalisasi kondisi ini, padahal terkait langsung dengan menurunnya kesehatan mental negara konflik secara luas.
Beberapa gejala yang sering muncul antara lain:
Namun, tidak semua orang menyadari bahwa gejala tersebut berkaitan dengan trauma dan stres berkepanjangan. Karena itu, edukasi kesehatan jiwa menjadi bagian penting dari pemulihan sosial.
Di banyak wilayah konflik, membicarakan perasaan dan kondisi psikologis masih dianggap tabu. Sementara itu, fokus kolektif sering tertuju pada bertahan hidup secara fisik. Stigma ini membuat banyak orang menyembunyikan penderitaan batin mereka.
Kondisi tersebut memperburuk kesehatan mental negara konflik karena individu menanggung beban sendirian. Mereka takut dicap lemah, tidak beriman, atau tidak bersyukur jika mengaku sedang tertekan. Di sisi lain, tenaga profesional kesehatan jiwa sangat terbatas sehingga akses bantuan formal menjadi semakin sulit.
Meski sistem layanan formal sering lemah, keluarga dan komunitas memiliki peran penting. Dukungan emosional sederhana, seperti saling mendengarkan tanpa menghakimi, dapat menjadi penyangga awal bagi kesehatan mental negara konflik.
Selain itu, aktivitas bersama seperti memasak, membersihkan lingkungan, atau mengajar anak-anak dapat mengembalikan sedikit rasa normal. Di sisi lain, pemimpin komunitas dan tokoh agama bisa membantu memecah stigma dengan mengakui pentingnya kesehatan jiwa dan mengajak warga saling peduli.
Banyak lembaga kemanusiaan mulai memasukkan layanan psikososial ke dalam program bantuan. Pendekatan ini tidak hanya menyalurkan makanan atau obat, tetapi juga melindungi kesehatan mental negara konflik. Misalnya, mereka membuka ruang ramah anak, kelompok dukungan perempuan, dan sesi konseling dasar.
Read More: WHO guidance on mental health support for people in prolonged emergencies
Program seperti ini membantu orang merasa didengar, diakui, dan tidak sendirian. Bahkan jika terapi formal tidak selalu tersedia, kehadiran pendamping terlatih mampu mengurangi rasa cemas dan isolasi. Karena itu, integrasi dukungan psikologis ke dalam respons kemanusiaan menjadi semakin penting.
Di tengah keterbatasan, banyak warga mengembangkan cara bertahan sendiri. Upaya kecil ini turut menjaga kesehatan mental negara konflik, meski belum ideal. Beberapa strategi yang sering muncul antara lain:
Namun, penting memastikan bahwa strategi koping tidak merugikan, seperti penyalahgunaan alkohol atau kekerasan dalam rumah tangga. Dukungan komunitas yang positif membantu menekan perilaku berisiko tersebut.
Anak dan remaja termasuk kelompok paling rentan menghadapi konflik berkepanjangan. Pada usia ini, mereka masih membentuk identitas dan memahami dunia. Jika tidak dilindungi, dampak terhadap kesehatan mental negara konflik akan terasa hingga jauh ke masa depan lewat generasi muda.
Selain trauma langsung, pendidikan yang terputus dan pindah tempat berulang kali dapat merusak rasa aman. Karena itu, sekolah darurat, ruang bermain aman, dan kegiatan psikososial terstruktur menjadi sangat penting. Di samping itu, melatih orang dewasa untuk mengenali tanda stres pada anak membantu deteksi dini masalah serius.
Perbaikan kesehatan mental negara konflik tidak cukup dengan program singkat. Diperlukan komitmen kebijakan jangka panjang dari pemerintah, otoritas lokal, dan mitra internasional. Layanan kesehatan jiwa harus masuk dalam rencana pemulihan, bukan sekadar pelengkap.
Selain itu, pelatihan tenaga kesehatan umum untuk mengenali dan menangani masalah psikologis dasar dapat memperluas jangkauan layanan. Integrasi dukungan mental ke dalam layanan kesehatan primer membuat masyarakat lebih mudah mengakses bantuan tanpa takut stigmatisasi.
Harapan tetap mungkin tumbuh meski situasi belum sepenuhnya aman. Penguatan komunitas, layanan psikososial, dan kebijakan yang berpihak dapat secara bertahap memperbaiki kesehatan mental negara konflik. Setiap langkah kecil, dari mendengarkan cerita tetangga hingga merancang program pemulihan nasional, memiliki dampak nyata.
Karena itu, kesehatan mental negara konflik perlu ditempatkan sejajar dengan kebutuhan fisik dan keamanan. Dengan begitu, masyarakat yang hidup di wilayah konflik panjang tidak hanya bertahan secara ragawi, tetapi juga memiliki kesempatan memulihkan martabat, harapan, dan masa depan psikologis yang lebih sehat.