Net Protozo – Pola makan memainkan peran penting dalam pengelolaan berat badan dan kesehatan tubuh. Seorang dokter asal Korea Selatan merancang sebuah program diet bernama Diet Switch-On yang bertujuan mengembalikan fungsi metabolisme tubuh selama empat minggu. Diet ini menjadi perbincangan di berbagai media sosial karena diklaim mampu menurunkan lemak tubuh sekaligus mempertahankan massa otot.
Diet Switch-On mengandalkan konsep puasa berkala, konsumsi protein tinggi, dan perbaikan fungsi usus. Pendekatan ini dipercaya bisa meningkatkan pembakaran lemak dan memperbaiki pencernaan. Seorang blogger yang mengikuti program ini mengungkapkan bahwa pada akhir minggu pertama, ia merasa perut kembung berkurang dan sistem pencernaannya lebih lancar. Setelah menyelesaikan minggu keempat, ia mengaku kehilangan lemak tubuh sekitar 4,5 pon, merasa lebih bertenaga, dan mengalami peningkatan kejernihan mental.
Program ini dibagi dalam empat tahap mingguan yang masing-masing memiliki tujuan berbeda. Protein menjadi komponen utama dalam diet karena penting untuk menjaga dan memperbaiki jaringan otot. Sebaliknya, makanan olahan, gula, alkohol, dan kafein dianjurkan untuk dihindari. Konsumsi karbohidrat tetap diperbolehkan, namun dalam jumlah terbatas. Pembatasan ini bertujuan untuk mendorong tubuh masuk ke kondisi ketosis yang bisa mengurangi peradangan pada saluran pencernaan.
Pada minggu pertama, fokus utama adalah detoksifikasi dan pengaturan ulang kesehatan usus. Selama tiga hari awal, peserta dianjurkan untuk mengonsumsi protein shake sebanyak empat kali sehari, disertai dengan konsumsi probiotik di pagi hari saat perut kosong. Aktivitas fisik berupa berjalan kaki selama satu jam juga disarankan. Jika rasa lapar muncul, diperbolehkan mengonsumsi makanan ringan seperti yogurt tawar, tahu, atau sayuran rendah kalori seperti brokoli, mentimun, dan kubis. Untuk empat hari berikutnya, menu makan siang ditambahkan berupa makanan tinggi protein dan rendah karbohidrat seperti ikan, ayam, telur, atau daging rendah lemak. Produk susu, tepung, dan kopi tetap harus dihindari.
Baca Juga : Lindungi Ginjal Sejak Dini dengan Langkah Gaya Hidup Sehat
Memasuki minggu kedua, metode puasa intermiten mulai diterapkan. Puasa selama 24 jam dilakukan dengan cara menyudahi makan malam lebih awal dan tidak makan sampai sore keesokan harinya. Puasa ini ditutup dengan makan malam tinggi protein. Menu harian terdiri dari dua protein shake, makanan rendah karbohidrat dengan nasi dan sayuran, serta makan malam tanpa karbohidrat. Konsumsi kacang-kacangan, nasi putih, dan kopi hitam di pagi hari diperbolehkan dalam jumlah terbatas. Pada tahap ini, pemulihan otot menjadi prioritas, sehingga olahraga berat tidak dianjurkan saat puasa berlangsung.
Minggu ketiga dan keempat ditujukan untuk meningkatkan pembakaran lemak. Pada minggu ketiga, peserta diminta menjalani dua kali puasa 24 jam dalam seminggu, sedangkan pada minggu keempat ditingkatkan menjadi tiga kali. Selain tetap mengonsumsi dua protein shake per hari, peserta diperbolehkan makan dua kali dengan menu rendah karbohidrat. Beberapa bahan seperti labu, tomat ceri, kastanye, dan beri bisa dikonsumsi, sementara ubi jalar dan pisang hanya disarankan setelah berolahraga.
Setelah program selesai, peserta dianjurkan untuk tetap menjalankan puasa dua kali seminggu — satu kali selama 24 jam dan satu kali selama 14 jam — agar hasil yang diperoleh tetap terjaga.
Meski banyak yang tertarik mencobanya, penting untuk berkonsultasi dengan tenaga medis terlebih dahulu sebelum memulai diet ini. Diet Switch-On membatasi asupan kafein, sehingga beberapa orang mungkin mengalami efek samping seperti sakit kepala atau mudah lelah. Selain itu, mengonsumsi makanan yang sama secara berulang juga bisa menimbulkan rasa bosan. Beberapa orang mengaku berhenti menjalankan program ini meskipun berat badan mereka turun, karena merasa jenuh dengan pola makan yang terlalu monoton.
Selain itu, efek jangka panjang dari puasa intermiten masih menjadi bahan diskusi dalam dunia medis. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa membatasi waktu makan terlalu ketat bisa meningkatkan risiko gangguan kardiovaskular dibandingkan dengan pola makan yang lebih fleksibel.
Simak Juga : Outfit Naik Gunung untuk Wanita Berhijab Agar Tetap Modis